Estetika secara etimologis berasal
dari bahasa Yunani aisthetikos, yang berarti ‘mengamati dengan indera’
(aisthonomai). Kata estetika juga terkait dengan kata aesthetis, yang artinya
‘pencerapan’ (perception). Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf
Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata “aisthetika”, sebagai penerus
pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia
mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu
sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge) (Dharsono,
2007:3). Estetika sebagai cabang ilmu filsafat, dalam perkembangannya menjadi
sebuah disiplin yang mandiri. Permasalahan keindahan menjadi suatu pokok
pembahasan bidang estetika seperti pendapat The Liang Gie yang dikutip Nyoman
Kutha, objek sasaran estetika meliputi; 1. keindahan secara umum, 2, perbedaan
antara keindahan alam dan keindahan seni, 3. keindahan khusus yang ada dalam
karya seni, 4. cita rasa, dan 5. pengalaman estetis (Kutha,2007:32). Dengan
demikian estetika merupakan satu disiplin ilmu yang komprehensip untuk
diimplementasikan berdasarkan substansi permasalahannya, khususnya yang
berkenaan pada sudut pandang kesenian atau keindahan.
Estetika sebagai pijakan pisau
analisis sebuah karya seni (film), erat kaitannya dengan unsur-unsur (estetika
elementer) yang melekat pada karya tersebut untuk menangkap maksud dan tujuan
(nilai-nilai) yang terkandung di dalamnya. Senada dengan pemikiran Herbert
Zettl di atas, pemahaman mendasar dari sifat-sifat estetika elementer sebuah
medium film membawa pemahaman yang lebih menyeluruh. Hal ini didasarkan bahwa
media film merupakan karya seni yang terwujud dari satuan kreativitas beberapa
seniman yang terlibat dalam proses pembuatannya (finished product). Hasil
kreativitas ini nantinya memberikan kontribusi keindahan, cita rasa, dan
pengalaman estetis bagi penontonnya.
Film sebagai karya seni dibangun melalui
unsurunsur yang dipadukan, seperti halnya seni lukisan, patung, musik, tari dan
sebagainya. Unsur-unsur tersebut masing-masing mempunyai karakteristik yang
nantinya mewujudkan sebuah bentuk atau struktur (form). Dalam proses
identifikasi sebuah struktur merupakan dasar dari pengamatan atau pemahaman
seni. Dengan memahami jalinan unsur-unsur tersebut, maka sebuah karya seni bisa
teridentifikasi maksud dan tujuannya, sehingga pemahaman estetika yang
dikandungnya bias teridentifikasi secara utuh seperti pendapat R. Sieber
(1962:653), estetika atau penyajiannya yang mencakup bentuk (form) dan keahlian
yang melahirkan gaya. Selanjutnya konteks makna (meanings), yang mencakup pesan
dan kaitan lambanglambangnya (symbolic value).Sebelum masuk pada subtansi
pembahasan bab ini, pemahaman unsurunsur pembentuk film merupakan suatu hal
yang cukup ensesial untuk dipahami terlebih dahulu, mengingat pendapat Herbert
Zettl di atas bahwa pemahaman elemen dasar sebuah film mendukung pemahaman
secara menyeluruh. Untuk itu, struktur film secara umum menurut Himawan
Pratista dibangun melalui dua unsur pembentuk yakni; naratif dan sinematik.
Dalam film cerita (fiksi)1 seperti halnya film Nagabonar Jadi 2, naratif adalah
perlakuan terhadap cerita film, sedangkan sinematik merupakan aspek-aspek untuk
mewujudkan cerita ke dalam bentuk paduan gambar dan suara (audiovisual).
Alur dramatik film Nagabonar Jadi 2
pembahasan subbab sebelumnya merupakan hasil kreativitas sineas terhadap
perlakuan ceritanya (naratif). Sinematik kemudian mengolah unsur-unsurnya
menjadi satu kesatuan yang mewujudkan struktur dalam mengimplementasikan maksud
dan tujuan naratifnya. Hal ini karena di dalam sebuah film fiksi, naratif
adalah bahan (bahan) yang akan diolah, sementara sinematik adalah cara (materi)
untuk mengolahnya (Pratista, 2008:1). Dalam kaitannya menelusuri bagaimana
unsur-unsur pembentuk film membangun sebuah struktur, merupakan sebuah landasan
untuk mencapai pemahaman yang lebih menyeluruh (maksud dan tujuannya),
pembahasan bab ini merupakan uraian pembacaan struktur film Nagabonar Jadi 2
menggunakan analisis interpretasi dengan pendekatan estetika Monroe Breadsley.
·
Simpulan
Keberadaan film Nagabonar Jadi 2
pada tahun 2007 merupakan satu fenomena yang cukup menarik. Genre drama komedi
yang diusung memberikan warna yang berbeda di tengah-tengah kondisi perfilman
di Indonesia dalam kondisi involutif atau didominasi genre drama dan horor.
Kehadiran film Nagabonar Jadi 2 dengan mengangkat tema nasionalisme membawa
suasana baru bagi perfilman di Indonesia. Kerinduan masyarakat pada masa-masa
perjuangan mengingat tema ini belum pernah tersentuh sejak kondisi krisis
melanda perfilman di Indonesia pada tahun 1990, film ini juga memberikan
jawaban sekaligus sebagai obat rindu bagi sebagian masyarakat di Indonesia yang
pernah mengalami dan melihat kejayaan film Nagabonar 1987, sehingga
keberadaannya menjawab kebosanan masyarakat perihal pilihan genre yang ada
maupun tawaran tema yang disajikan. ‘
Alur dramatik film Nagabonar Jadi 2
diinterpretasi melalui tiga tahapan. Tahap pertama, film Nagabonar Jadi 2
menempatkan bagian-bagian peristiwa secara logis baik cerita yang akan
dikembangkan, keterkaitan kausalitas dengan cerita film sekuelnya, aspek ruang
dan waktu, dan menimbulkan ketertarikan pada penonton. Adegan demi adegan
diciptakan dengan menggunakan teknik anatomi plot gimmick, flashback, fore
shadowing, sureprise dan gestus. Kelima teknik ini telah membuat sebuah adegan
lebih mudah memperkenalkan keunikan karakter, latar belakang dan siapa saja
tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonisnya. Permasalahan yang ditimbulkan
oleh karakter Nagabonar dan Bonaga memberikan sebuah penggambaran permasalahan
pada tahap selanjutnya. Tahap kedua, pada tahapan pertengahaninimenempatkan
bagian-bagian peristiwa secara logis kelanjutan pengembangan dari permasalahan
yang telah diciptakan pada tahap permulaan. Adegan demi adegan yang diciptakan
mampu memainkan emosi dan rasa keingintahuan dari penonton. Penonton diberikan
rasa penasaran terlebih dahulu denganmenata bagian adegan yang memberikan
solusi sementara permasalahan (anti cimax). Namun pada tahap selanjutnya cerita
kembali memunculkan pertentangan antara karakter Nagabonar dan Bonaga dalam
persoalan yang sama namun beda penyebab, sehingga melahirkan gerak dramatik
sebuah adegan menjadi sangat kompleks saat menuju klimaks permasalahan sebuah
cerita. Kemudian pada tahap ketiga atau terakhir, Adegan demi adegan diakhir
cerita mampu merangkum jawaban dari segala permasalahan yang ditimbulkan antar
karakter. Informasi yang disampaikan baik secara verbal (dialog) maupun gambar
pada adegan-adegan penutupantelah mempertemukan masalahmasalah yang diusung
oleh para karakter dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau pemecahan.
Adegan-adegan di dalam film
Nagabonar Jadi 2 setelah diinterpretasi menggunakan pendekatan teori estetika
Monroe Breadsley yang menyatakan sebuah karya seni yang berhasil harus memenuhi
tiga tahapan yaitu; unity (kesatuan), complexity (kerumitan), dan intensity
(kesungguhan). Dari hasil analsis dalam penelitian ini, ketiga tahapan tersebut
telah melekat di dalam unsur-unsur pembentuk yang ada (naratif dan sinematik)
saling berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan sistem yang terstruktur,
sehingga menghasilkan sebuah tayangan yang mampu memberikan nilainilai estetik
dan pengalaman estetik yang membuat penonton ikut merasakan suasana lucu,
sedih, haru, gambira, serta dapat menyerap maksud dan tujuan yang ingin disampaikan.
SUMBER: https://drive.google.com/file/d/0BxQ_uBbX-7ImNWRSZzdrOEstR3c/view?usp=docslist_api
Penulisan ini tidak sesuai antara isi dengan kesimpulan dan referensi. Jurnal referensi membahas tentang estetika salah satu film Indonesia, "Nagabonar Jadi 2" sedangkan isi penulisan mengenai sejarah dan teori estetika film. Dan kesimpulannya pun tidak sesuai, karena bukan merupakan kesimpulan dari bagian sebelumnya.
BalasHapusUntuk link tugas ini belum diupload ke studentsite ya. Tolong diupload sebelum batas waktu, terima kasih.
-NH-